Seorang muslim secara fitrah mengetahui keutamaan menghafal al-Quran dan tingginya kedudukan penghafal al-Quran. Banyak sekali nash-nash yang mengumpulkan keutamaan-keutamaan ini sehingga menambah kuat pengertian ini. Jika ditambah dengan contoh-contoh yang nyata dala perkara ini, niscaya hal itu akan semakin menambah keyakinan seseorang dengan kemampuannya untuk mengubah makna-makna ini ke dalam alam nyata. Tidak ada dalil yang lebih jelas dalam hal ini daripada metode yang digunakan al-Quran al-Karim dan as-Sunnah an-Nabawiyah dalam menyampaikan kisah-kisah dan contoh-contoh untuk dijadikan pelajaran dan nasihat.
Berikut ini beberapa kisah para penghafal al-Quran, mudah-mudahan dapat menjadi menara dan contoh untuk diikuti generasi ini.
Amru bin Salmah Rodhiyallohu ‘anhu adalah golongan sahabat yang masih kecil (muda). Dia sangat antusias mempelajari al-Quran. Dia selalu menemui kafilah yang datang dari bepergian, bertanya kepada mereka dan meminta dibacakan al-Quran dari mereka. Sehingga dia menjadi orang yang paling banyak hafalannya diantara seluruh kaumnya, dan menjadikannya orang yang berhak menjadi imam shalat mereka. Marilah kita dengarkan kisahnya, dia bercerita, “Ketika saya berada di kampung, datanglah kafilah melewati kami. Mereka baru saja kembali dari sisi Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam, lalu aku mendekati mereka dan mendengarkan pelajaran dari mereka sehingga aku hafal al-Qur’an. Orang-orang menunggu masuk Islam hingga setelah Fathu Mekkah. Ketika Mekkah telah ditaklukan, mereka mengutus seorang laki-laki menghadap Rosululloh Sholallohu ‘Alahi wa Sallam. Utusan itu berkata, “Wahai Rosululloh, saya adalah utusan Bani Fulan yang datang kepada engkau untuk memberitahukan keislaman mereka.” Ayahku juga menghadap Rosululloh dengan keislaman kaumnya lalu kembali kepada mereka, dia berkata,”Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pilihlah (untuk menjadi imam sholat) orang yang paling banyak hafalan al-Qurannya diantara kalian!” Amru bin Salmah berkata,”Lalu mereka melihat-lihat, ketika itu saya memiliki hafalan yang banyak, mereka tidak mendapati seorangpun yang lebih banyak hafalannya daripadaku, maka merekapun memilihku padahal aku masih anak-anak...” (HR. Ahmad)
Para pemuda hari ini saling bertanya, ketika melihat contoh ini. Pemuda sahabat Rodhiyallohu ‘anhu ini sangat antusias menghafal al-Quran dan mempelajarinya, padahal ketika itu belum ada sarana dan prasarana yang tersedia seperti halnya yang kita dapati pada hari ini. Saat itu dia tidak mempunyai halaqoh untuk menghafal al-Quran, juga tidak mempunyai kaset rekaman atau MP3 player, bahkan al-Quran di masanya belumlah terkumpul dalam satu mushaf yang darinya bisa dia baca dan hafalkan. Namun dengan segala keterbatasan tersebut, dia tetap bisa menghafalnya.
Kita bisa merasakan semangat Zaid bin Tsabit Rodhiyallohu ‘anhu, saat kaumnya mendatangi Nabi Sholallohu ‘alaihi wasallam dengan bangga terhadap prestasi yang telah ditorehkan Zaid bin Tsabit Rodhiyallohu ‘anhu. Disebutkan bahwa kaumnya berkata kepada Nabi Sholallohu ‘alaihi wasallam,”Anak ini merupakan salah seorang anak Bani Najjar yang telah menghafal apa-apa yang telah diturunkan Robbmu kepadamu berupa beberapa puluh surat.” Nabipun takjub dan bersabda,”Wahai Zaid, pelajarilah bahasa Ibrani. Demi Alloh, karena mereka tidak memahami surat yang kutulis.” Maka aku (Zaid bin Tsabit) pun mempelajari bahasa mereka sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadaku selama lima belas malam kemudian akupun mengusainya. Maka sejak saat itu akulah yang membacakan surat yang mereka sampaikan kepada Nabi Sholallohu ‘alaihi wasallam dan membalas surat mereka jika Nabi Sholallohu ‘alaihi wasallam ingin membalasnya. (HR. Al-Bukhari dan Ahmad)
Anak yang lain yang juga telah menghafal al-Quran pada saat usianya baru sepuluh tahun lebih sedikit adalah Barro’ bin Azib Rodhiyallohu ‘anhu. Beliau berkata,”Rosululloh tidaklah mendatangi kami sampai aku membaca puluhan surat al-Mufashshal.”
Abdushshamad bin Abdurrahman bin Abi Raja’ al-Balwi (wafat tahun 619 H) meriwayatkan al-Quran dari ayahnya dengan cara talaqqi. Dari ayahnya beliau juga mendengar beberapa kitab, padahal ayahnya wafat saat beliau baru berumur sekitar sepuluh tahun.
Ali bin Hibbatullah al-Jumaizi (wafat tahun 649 H) hafal al-Qur’an saat berumur sepuluh tahun.
Majduddin Abu al-Barakat Ibnu Taimiyah (wafat tahun 652 H) hafal al-Quran da menguasai ilmu dari pamannya, al-Khatib Fahruddin dan berkelana mencari ilmu menemani putra pamannya, Saifuddin, saat beliau masih berumur belasan tahun.
Zaid bin Hasan Tajuddin al-Kindi (wafat tahun 613 H) membacakan al-Quran di depan Muhammad Sabth al-Khiyath dengan cara talqin (menirukan) saat beliau masih berusia tujuh tahun dan hal ini jarang terjadi – seperti yang disampaikan adz-Dzahabi – dan yang lebih langka lagi, beliau membacanya dengan sepuluh macam jenis qira’ah saat beliau berusia sepuluh tahun.
Abu Syammah (wafat tahun 665 H) membaca al-Quran sejak kecil dan telah menguasai seluruh jenis qira’ah dari syaikhnya, as-Sakhawi, ketika masih berumur tujuh belas tahun.
Abu Bakar bin Umar bin Musyabba’ bin Miqashshati (wafat tahun 713 H) menjadi ahli qira’ah al-Quran sebelum berusia dua puluh tahun.
Hamzah bin Habib al-Imam al-Muqri (wafat tahun 158 H) mengomentari dirinya sendiri dengan berkata,”Aku dilahirkan pada tahun 80 H, dan menguasai qira’ah saat berusia lima belas tahun.”
Khalf bin Hisyam bin Tsa’lab al-Imam al-Hafidz al-Hujjah Syaikhul Islam (wafat tahun 229 H) keluar dari Baghdad saat berusia sembilan belas tahun yang saat itu disana tidak ada yang lebih ahli qira’ah daripada beliau.
Makki bin Abu Thalib al-Allamah al-Muqri yang lahir pada tahun 355 H, menguasai qira’ah dari Ibnu Ghalbun pada tahun 376 H, atau saat beliau masih berusia dua puluh satu tahun.
Abu Ali al-Ahwazi al-Muqri al-Muhaddits yang lahir pada tahun 362 H, sejak kecil telah sibuk dengan riwayat dan hafal al-Quran 378 H atau ketika usia beliau berkisar enam belas tahun.
Abu Bakar an-Nuqqasy al-Muqri’ al-Mufassir Ahad al-A’lam yang lahir pada tahun 266 H sejak kecil telah sibuk dengan qira’ah dan belajar pada Hasan bin Abbas bin Abu Mahran tahun 285 H atau ketika usianya sembilan belas tahun.
Diantara mereka, ada juga Imam an-Nawawi, yang sampai-sampai syaikh beliau, Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi berkata,”Aku melihatnya menjadi seorang syaikh saat dia berumur sepuluh tahun di kota Nawa. Teman-temannya tidak suka kepadanya jika dia bermain bersama mereka, kemudian dia berlari menjauhi mereka seraya menangis karena ketidaksukaan mereka tersebut, dan saat itu dia langsung membaca al-Qur’an. Maka saat itulah aku mulai merasa menyayanginya. Saat itu ayahnya membawanya ke tokonya namun tidak membebaninya dengan kesibukan jual beli sehingga melalaikannya dari al-Qur’an. Akupun kemudian mendatangi pengajarnya dan menasehatinya dan kukatakan kepadanya bahwa dia diharapkan bisa menjadi orang yang paling alim dan paling zuhud pada masanya, dan manusiapun bisa mengambil manfaat darinya. Mendengar itu dia berkata,”Apakah engkau seorang peramal?” Maka akupun menjawab,”Tidak, sesungguhnya aku hanyalah orang yang diberitahu oleh Alloh akan hal itu.” Maka sang guru menyampaikan hal itu kepada ayahnya dan kemudian ayahnya menyemangatinya untuk menghatamkan al-Qur’an padahal saat itu dia belum baligh.”
Saat para remaja merenungi beberapa contoh di atas, maka yang harusnya ada di benak mereka adalah naik dan bertambahnya semangat mereka, berusaha untuk bersimbiosis dengan mereka dan berusaha untuk mengikuti rombongan kloter mereka, merasa bahwa ketika mempelajari al-Qur’an Kitabullah ta’ala seperti para pendahulu mereka, mereka seperti sedang melompati beberapa masa ke belakang guna meresapi bahwa sesungguhnya mereka dan para pendahulu mereka tersebut berada dalam satu gerbong. Sesungguhnya barangsiapa yang mencintai suatu kaum, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.
Maka saat itu merekapun akan saling bertanya,”Dimanakah teman-teman sebayaku yang belum pernah kulihat, yang mereka telah diuji dengan kesenangan dan kesia-siaan? Namun mereka berusaha menangkal ujian-ujian yang melingkupi mereka. Sesungguhnya aku ingin bersimbiosis dengan mereka.”